Beranda | Artikel
Perseroan Syirkah Sesuai Syariah
Minggu, 16 Februari 2020

PERSEROAN SYIRKAH SESUAI SYARIAH

Oleh
Utsadz Nurcholis Majid Ahmad, Lc

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang ditandai dengan perkembangan sains dan teknologi, perkembangan kegiatan ekonomi dengan beragam bentuk dan macamnya turut mewarnai dunia bisnis. Bentuk-bentuk transaksi bisnis dan kegiatan ekonomi berkembang cepat seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.

Transaksi bisnis kontemporer yang berkembang tidak hanya dilakukan oleh perorangan, namun juga oleh berbagai kelompok usaha yang bergabung dalam badan hukum usaha (syirkah) tertentu,  seperti Perseroan Terbatas, CV, Firma, Koperasi dan sebagainya. Melihat begitu beragamnya transaksi bisnis serta organisasi atau kelompok usaha yang mengelola transaksi bisnis tersebut, maka adalah suatu keharusan bagi kaum Muslimin untuk mengkaji bagaimana bentuk transaksi bisnis dan badan hukum menurut sisi Syari’at Islam ?  Hal ini menjadi penting mengingat aktivitas seorang Muslim harus selalu terikat dengan aturan Allâh Azza wa Jalla sebagai bukti keimanannya kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhirat. Pengkajian ini juga penting untuk melihat sejauh mana peranan Syariat Islam dalam menjawab perkembangan zaman, khususnya perkembangan dunia bisnis.

Dalam dunia bisnis, jika seseorang memiliki modal dan  kemampuan usaha maka orang tersebut kemungkinan besar akan mengembangkan uangnya sendiri. Namun bila tidak punya skill, maka ia bisa bekerja sama dengan orang lain yang mampu berusaha. Dan jika modalnya kurang, ia bisa bekerjasama dengan orang lain lagi untuk menambah modal. Sementara orang yang punya keahlian atau kemampuan serta kesempatan untuk berusaha,tapi tidak memiliki dana; atau kemampuan yang dimilikinya masih kurang, maka ia bisa bekerjasama dengan orang lain yang memiliki dana atau keahlian. Inilah kerjasama (syirkah), baik menyangkut keahlian maupun dana, dalam berusaha meraih atau mengembangkan harta.

Bentuk-bentuk kerjasama dan tata caranya, diatur dalam Bab Syirkah. Dalam beberapa literature, kita tahu bahwa bentuk perseroan (syirkah)  itu ada berbagai macam. Pada makalah ini, akan  kami coba sajikan secara umum bagaimana bentuk-bentuk perseroan (syirkah) menurut Islam. Hal ini penting agar kita dapat mengetahui bagaimana kedudukan badan hukum usaha (perseroan) yang ada selama ini. Apakah sesuai dengan prinsip-prinsip perseroan dalam Islam atau tidak? Jika sesuai, maka tentunya kita dapat memanfaatkannya dalam kegiatan bisnis. Jika tidak sesuai, maka kita bisa mengambil langkah yang sesuai dengan kemampuan kita.

Defenisi Dan Dasar Hukum Perseroan (Syirkah) Dalam Islam
Dari segi bahasa, syirkah adalah penggabungan (ikhtilâth) dua harta atau lebih menjadi satu.[1] Sedang menurut istilah syari’, syirkah adalah hak kepemilikan terhadap suatu yang dimiliki oleh dua orang atau lebih sesuai prosentase tertentu (yaitu kerjasama dalam usaha atau sekedar kepemilikan suatu benda).[2]

Hukum melakukan syirkah adalah mubah, dengan dalil dari al-Qur’ân dan as-Sunnah serta ijmâ’. Dalam al-Qur’ân Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ

maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu [an-Nisâ’/4:12]

Dalam ayat tersebut Allâh Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa saudara seibu yang memenuhi syarat jika lebih dari satu maka mereka bersekutu dalam kepemilikan sepertiga harta warisan.

Adapun dasar dari Sunnah, yaitu firman Allâh Azza wa Jalla yang terdapat dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berkata, “Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang diantara mereka tidak berkhianat kepada mitranya. Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi)”[3]

Syirkah bisa dilakukan sesama muslim, dan juga bersama orang kafir sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penduduk Khaibar.  Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma menceritakan :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempekerjakan penduduk Khaibar (orang-orang Yahudi) dengan mendapat setengah bagian dari hasil panen tanaman dan buah.[4]

Dalil ketiga adalah ijma’ yakni ulama’ kaum Muslimin telah sepakat tentang bolehnya syirkah (perseroan), namun mereka berbeda pendapat dalam beberapa macam jenis syirkah.[5]

Macam-Macam Syirkah
Syirkah, menurut jumhur Ulama’ dibagi menjadi dua jenis yaitu Syirkatul Amlâk dan Syirkatul Uqûd.

1. Syirkatul Amlâk yaitu kepemilikan barang secara kolektif.
Syirkatul amlâk ada dua bentuknya  yaitu :[6]

  • Syirkatul ikhtiyâr yaitu persyerikatan dalam kepemilikan barang (atau kepemilikan secara kolektif) yang dihasilkan oleh perbuatan dua orang atau lebih. Misalnya :
    • Dua orang atau lebih yang sepakat untuk membeli suatu barang dengan biaya bersama. Maka kepemilikan terhadap barang itu sesuai prosentase modal.
    • Dua orang yang diberi wasiat atau hadiah sebuah barang, kemudian mereka terima. Maka keduanya memiliki bagian dari barang tersebut. Kepemilikian ini disebut syirkatul ikhtiyâr karena setiap pihak mempunyai hak pilih dalam menentukan kepemilikan perseroan.
  • Syirkatul jabr ; yaitu kepemilikan secara kolektif terhadap sebuah barang tanpa usaha dari pihak yang bersyerikat. Misalnya dalam harta warisan yang didapat oleh ahli waris jika ada dua atau lebih.

Dalam dua macam syarikat ini tidak diperbolehkan bagi salah satu pihak untuk menggunakan atau memanfaatkan barang tersebut tanpa izin dari semua pihak yang terkait dalam persyarikatan.[7]

2. Syirkatul Uqûd.
Syirkatul uqûd adalah aqad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang bersepakat untuk bersyarikat dalam modal atau melakukan kerjasama usaha dengan tujuan mencari untung.[8]

Dari pengertian ini dan juga dengan memperhatikan berbagai bentuk kerjasama usaha perseroan (syirkah), maka dalam syari’at Islam, perseroan ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok.yaitu :

A. Syirkah Bil Amwâl (Perseroan dalam modal)
Perseroan ini bertumpu pada modal bersama untuk melakukan sebuah usaha guna menghasilkan keuntungan. Syirkah ini memiliki dua bentuk yaitu:

  1. Syirkatul Inân. Syirkah Inan adalah persyerikatan dua pihak atau lebih dimana masing-masing membawa dana sebagai modal dan keahlian masing-masing dalam sebuah usaha. Modal utama adalah uang dan keahlian. Keabsahan syikrah jenis ini telah disepakati oleh para Ulama.

Dalam perserikatan (syirkah) ini, barang yang disertakan sebagai modal harus lebih dulu dihitung nilainya sebelum aqad berlangsung. Nilai modal atau barang modal dari masing-masing pihak tidak harus sama.

Syirkatul Inân dibangun diatas prinsip wakâlah (perwakilan) dan amanah (kepercayaan). Karena masing-masing pihak telah memberi kepercayaan dan izin kepada mitranya untuk mengelola dana dalam usaha yang disepakati tersebut. Bila telah berlangsung aqad, maka masing-masing pihak harus terlibat secara langsung, tidak boleh diwakilkan, karena perserikatan (syirkah) ini melibatkan badan (fisik) mereka. Namun bila semua pihak yang terlibat bersepakat untuk menggaji seorang pegawai yang mengelola usaha itu, maka itu diperbolehkan, tapi bukan sebagai pegawai salah pihak.

Dalam perserikatan ini, pembagian laba tergantung kesepakatan sedangkan resiko kerugian ditanggung berdasarkan prosentase modal masing-masing. Berdasarkan kaidah :

الرِّبْحُ عَلَى مَا شَرَطَا وَالْوَضِيْعَةُ عَلىَ قَدْرِ الْمَالَيْنِ

Laba itu tergantung kesepakatan bersama sedang kerugian ditanggung masing masing pihak berdasarkan nilai modal (uang)[9]

  1. Syirkatul Mufâwadhah.  Secara bahasa al-mufâwadhah adalah al-musâwah (persamaan). Dinamakan al-mufâwadhah karena modal, keuntungan, kerugian dan keahlian dalam perserikatan ini harus sama.

Syirkatul mufâwadhah adalah akad berserikat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk usaha bersama dengan syarat modal, keahlian serta agama harus sama kemudian keuntungan maupun kerugian dibagi sama pula. Menurut Hanafiyah dan Zaidiyyah bahwa dalam syirkah ini, masing-masing pihak boleh melakukan keputusan atau kebijakan sesuai kebutuhan tanpa harus meminta pertimbangan mitranya. Sedangkan menurut malikiyah hal semacam ini disebut syirkatul inan. Malikiyah menetapkan syarat dalam syirkah mufawadhoh yaitu setiap kebijakan yang diambil oleh salah satu pihak harus seizin mitranya.

Menyikapi pendapat hanafiyyah dan zaidiyah di atas, imam Syafi’i t mengatakan, “Jika syirkah mufâwadhah (yang seperti ini) tidak bathil, maka tidak ada hal bathil lagi yang aku ketahui di dunia.”

Sementara Ulama’ hanabilah memandang syirkah mufâwadhah  yang berarti persamaan dalam modal, kerja, perwakilan, untung dan  rugi adalah diperbolehkan[10]

Yang rajih -wallahu a’alam- adalah pendapat jumhur yaitu dalam syirkah mufâwadhah masing-masing pihak harus meminta pendapat dan kerelaan mitranya dalam kebijakan dalam bisnisnya agar tidak ada gharar dan jahalah (penipuan).[11]

B. Syirkah Bil A’mâl atau Bil Abdân (Persyarikatan pada Tenaga/ Keahlian)
Syirkah ini bertumpukan pada fisik atau keahlian dalam usaha sebagai modal utama. Misalnya dua orang atau lebih yang bekerja sama dalam jasa memanen padi atau mengangkat barang atau membuat perkakas rumah tangga dan lain sebagainya. Dalam hal ini, menurut jumhur Ulama tidak disyaratkan kesamaan tenaga atau keahlian pada masing-masing pihak dan hasil dibagi sesuai kesepakatan bersama. Perserikatan seperti ini sah menurut jumhur ulama walaupun kemampuan masing-masing tidak sama. Ulama’ yang membolehkan adalah dari kalangan hanafiyyah, malikiyah, hanabilah serta zaidiyyah,[12] berdasarkan :

قَالَ ابنُ مَسْعُوْدٍ اشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ فِيمَا نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ قَالَ فَجَاءَ سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ أَنَا وَعَمَّارٌ بِشَيْءٍ  فَلَمْ يُنْكِرِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم  عَلَيْنَا

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku bersyerikat dengan Ammar dan Sa’ad dalam perang badar (atas hasil rampasan), lalu Sa’ad berhasil menawan  dua tawanan sedangkan aku dan ammar tidak mendapatkan apa-apa (lalu kami bagi bertiga), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak mengingkari perbuatan kami.[13]

Ibnu Taymiyyah rahimahullah memandang hadits ini sebagai hujah syirkatul abdân[14]

Sedangkan menurut syâfi‘iyyah, imamiyyah, dan zufar, syirkatul abdân ini hukumnya bathil karena modal tenaga atau keahlian itu tidak dapat diukur nilainya dengan pasti, beda halnya dengan harta yang memiliki kejelasan dan mudah untuk prosentase. Jadi dalam masalah ini terdapat unsure gharar (penipuan).[15]

Yang rajih – wallahu a’lam– adalah pendapat Jumhur, karena gharar dengan sebab jahalah (ketidak jelasan) modal tenaga tersebut sangat tipis sehingga tidak mempengaruhi hukum. Juga karena jahalah yang tipis itu akan teratasi dengan syarat-syarat yang telah disepakati.

الْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ

Kaum Muslimin berpegangan dengan syarat yang telah mereka tentukan

C. Syirkatul Wujûh (Berserikatan dalam Kedudukan)
Syirkah wujûh adalah akad berserikat antara dua orang atau lebih dengan modal pinjaman dari pihak luar karena mereka memiliki kedudukan di tengah masyarat serta kepercayaan orang yang dipinjam hartanya.

Artinya, dengan kedudukan itu orang-orang yang berserikat ini memperoleh pinjaman lunak berupa barang sebagai modal untuk dijual kontan kepada konsumen, sehingga dalam syirkah ini tidak ada modal harta.

Syirkah semacam ini dibolehkan oleh Ulama’ hanafiyah, hanâbilah dan zaidiyyah dengan dalil bahwa ini termasuk syirkatut tadhamun (penanggungan) wa  taukîl (perwakilan) yaitu setiap persero dan mengkalim barang yang ia tanggung dari hasil pinjaman tersebut dan juga dapat mewakilkan  kepada syariknya untuk melakukan pembelian dan penjualan, Alasan lain adalah perbuatan ini telah lama dilakukan kaum muslimin  dari masa kemasa dan tidak terdengar satupun ulama’ yang melarangnya. Ringkas kata bahwa hasil kesepakatan dari  para syarik merupakan suatu bentuk amal(tenaga) dalam usaha bersama. Sehingga menurut mereka hal yang demikian diperbolehkan[16].

Pendapat kedua adalah pendapat Ulama’ mâlikiyyah, syâfi’iyah, zhâhiriyyah, imâmiyah, juga Abu Tsaur rahimahullah yang memandang bahwa syirkatul wujûh itu bathil karena menurut mereka syirkah itu hanya pada harta dan tenaga (badan) dan mereka menilai syirkatul wujûh bukan harta dan bukan badan.[17]

Berdasarkan pendapat pertama dapat disimpulkan bahwa syirkatul wujûh akan menghasilkan bagian yang jelas bagi masing-masing pihak dari barang hutangan tersebut (yang dijadikan sebagai modal), sehingga keuntungan atau kerugian akan dibagi sesuai prosentase tanggungan masing-masing. Karena masing-masing pihak sebagai dhâmin (penjamin) dari bagian yang telah disepakati.[18]

C. Syirkatul Mudhârabah
Syirkatul mudhârabah disebut juga qiradh.  Ini adalah gabungan dari syirkatul amwâl dari salah satu pihak dan syirkatul abdân dari pihak kedua. Misalnya, akad berserikat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana ada pihak yang membawa harta sebagai modal usaha sedangkan yang lain membawa badan atau keahlian untuk berusaha. Syirkah seperti ini hukumnya mubah (boleh). Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu anhu pernah memberikan modal mudlârabah dengan menetapkan syarat-syarat tertentu kepada pengelola, kemudian berita ini sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkannya. Ijma’ shahabat juga membenarkan syirkah semacam ini. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu pernah memberikan harta kepada anak yatim dengan cara mudhârabah. Kemudian Umar Radhiyallahu anhu meminta bagian dari harta tersebut, lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh al-Fadlal.

Keuntungan dalam syirkah mudhârabah dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian dibagi sesuai ketentuan syara’ yaitu pemodal menanggung kerugian harta, sementara pengelola menanggung kerugian waktu, tenaga, keahlian dan pemikiran yang telah dicurahkan. Syirkah ini statusnya sama dengan aqad wakâlah (perwakilan), dimana orang yang menjadi wakil tidak bisa menanggung kerugian. Kerugian sepenuhnya ditanggung oleh yang mewakilkan, sepanjang kerugian itu terjadi sebagai sesuatu yang memang harus terjadi, bukan karena kesengajaan atau kecerobohan pengelola.

Modal usaha dalam syirkah mudhârabah harus diserahkan sepenuhnya kepada pengelola. Syirkah itu terbangun atas dasar kepercayaan dan amanah. Jadi, pemodal harus mempercayakan sepenuhnya kepada pengelola untuk mengelola usahanya sesuai batasan-batasan yang telah ditentukan atau disepakati.

Termasuk syirkah mudharabah, bila ada dua pemodal atau lebih yang bersepakat untuk menyerahkan pengelolaan usaha tersebut kepada salah seorang mereka dengan batasan dan ketentuan yang disepakati. Dengan demikian akan ada satu pihak yang menjadi pemodal sekaligus pengelola.

Prinsip-Prinsip Pokok Syirkah
Dengan memperhatikan berbagai bentuk syirkah dalam Islam, maka terdapat prinsip-prinsip penting yang harus selalu ada :

  1. Untuk jenis syirkatul amwâl maka modal harus kontan dan tidak boleh dihutang atau tidak ditempat akad (ghaib) karena tujuan syirkah ini adalah mencari keuntungan dengan usaha dan itu tidak akan terwujud jika modal belum diberikan.[19] Alasan lain yaitu bila modal dihutang atau belum diserahkan sementara pekerja sudah mengerahkan tenaga dan pikiran, maka itu akan berpeluang menimbulkan sengketa.
  2. Pembentukan dan pengembangan serikat harus dengan persetujuan seluruh pihak yang terlibat. Jika sebuah serikat telah terbentuk dan ada pihak lain yang ingin bergabung, maka itu harus dengan persetujuan semua pihak yang terlibat.
  3. Penghentian syirkah. Syirkah berdiri atas dasar kerelaan (ridha), kepercayaan dan amanah. Sebagaimana aqad yang lain, aqad syirkah bisa dibubarkan jika salah satu pihak membatalkan aqad. Atau karena salah satu pihak meninggal atau gila. Menurut pendapat hanafiyah, bila salah seorang mitra meninggal, ahli waris yang telah dewasa bisa melanjutkan syirkah tersebut.

Bila salah satu dari dua orang yang berserikat menghendaki pembubaran, maka mitranya harus memenuhi permintaan itu. Namun, apabila yang berserikat lebih dari dua orang, lalu salah seorang minta pembubaran, sementara yang lain tidak, maka serikat itu dibubarkan terlebih dulu kemudian diperbarui lagi diantara mitra yang masing ingin terus bekerjasama. Dalam syirkatul mudhârabah, bila pengelola menghendaki penjualan agar meraih untung, sedang yang lain tidak, maka keinginan pengelola harus dipenuhi karena keuntungan adalah haknya, sedang untuk mendapatkannya harus melalui penjualan.

  1. Pembagian Keuntungan dan Kerugian. Keuntungan yang diperoleh harus dibagi sesuai dengan kesepakatan yang ada diawal aqad dan harus jelas disebutkan dalam aqad. Tujuannya agar tidak terjadi penipuan dan persengketaan. Sedangkan kerugian usaha ditanggung berdasarkan prosentase modal yang disetorkan, berdasarkan kaidah :

الرِّبْحُ عَلَى مَا شَرَطَا وَالْوَضِيْعَةُ عَلىَ قَدْرِ الْمَالَيْنِ

Laba itu tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama sedangkan kerugian ditanggung masing masing pihak berdasarkan nilai modal (uang)[20]

Dengan kita mengkaji bagaimana syariat Islâm mengatur syirkah, maka kita dapat menilai bahwa pembentukan syirkah (perseroan) dengan sistem kapitalis yaitu dengan mementingkan keuntuan pemilik modal belaka merupakan suatu hal yang bertentangan dengan syariat Islâm sehingga harus dilakukan perbaikan atau perubahan agar sesuai dengan syariat yang Allâh Azza wa Jalla turunkan.

Wallahu a’lam bis shawab

Maraji.

  1. Al-Qur’ânul Karîm
  2. Shahîh Muslim, Syarh Imam Nawawi. Cet. Ke-4, tahun 1422 H/ 2001 M, Darul Hadits, Mesir
  3. Sunan Abu Dawud, Karya Abu Dawud Sulaiman as Sijistani, tahqiq Muhammad Nasiruddin al Albâni, cet. Ke-2, tahun 1427 H/ 2007 M, Maktabah al Ma’ârif, Riyadl- KSA
  4. Sunan Nasâ‘i al-Mujtaba minas Sunan, Ahmad bin Syuain an-Nasai’, tahqiq : Abdul Fattah Ghudh, cet. K-2, tahun 1406 H, Maktabah Islamiyah
  5. Al-Mabsût, as Sarkhasi, cet. Ke-2, Mathba’ah as Sa’adah, Mesir
  6. Bada’i’us Shanai’, Abu Bakr Mas’ud bin Ahmad al-Kasani, cet. Ke-1, tahun 1338 H, al-Jamaliyah, Mesir
  7. Hasyiah Raddil Muhtar, al-Hashfaki, tahun 1966 M, al Bâby al-Halaby, Mesir
  8. Bidâyatul Mujtahid Wa Nihâyatul Muqtashid , Ibnu Rusd al Hafîd, al-Istiqâmah, Mesir.
  9. Mugnil Muhtâj Ila Ma’rifati Ma’âni Alfâdzil Minhâj, al khatib as Syarbiini, al Bâby al-Halaby, Mesir
  10. Al-Mugni, Ibnu Qudamah al Maqdisi, Cet. Ke-3, Darul Manâroh, Mesir
  11. Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Azzuhaily, cet. Ke-2 , Tahun 1405H/ 1985M, Darul Fikr , Damaskus

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Fathul Qadîr, 5/2
[2] Mugnil Muhtâj, 2/211
[3] Hadits ini dinyatakan cacat oleh Ibnu Qatthn karena ada rawi majhûlul hâl (tidak diketahui keadaannya) yang bernama Said bin hibban, sementara Ibnu Hibban memasukkan orang ini ke dalam daftar  tsiqat. Syaikh al-Albâni menilai hadits ini dhaif dalam Ta’lîq Sunan Abu Dawud, hlm. 609, no.  3383
Hadist  serupa diriwayatkan oleh Abu Qâsim al ashbahani dalam at-Targhîb wat Tarhîb. Lihat, Nailul Authâr 5/264
[4] HR. Muslim 5/ 1551, Abu Dâwud No.3406. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albâni rahimahullah.
[5] Al-Mugni 5/1
[6] Al-Fiqhul Islâmi wa Adillatuhu 4/793
[7] Badâ’i’us Shanâ’i’ 6/65,  al-Mabsûth 11/151,
[8] Al-Fiqh ala Madzâhibil Arba’ah 3/83
[9] Al-Fiqhul Islâmi wa Adillatuhu, 4/797
[10] Al-Mugni 5/26
[11] Lihat al-Fiqhul Islâmi wa Adillatuhu, 4/799-802
[12] Badâ’i’us Shanâ’i’ 6/57. Fathul qodir 5/28,  al mabsuth 11/154-155, roddul mukhtar 3/380, al mugni 5/3, bidayatul mujtahid 2/252
[13] HR. Abu Dawud dan Nasâ’i’  no. 4697. dari hadits Abu Ubaidah dari Abdullah bin Masud Radhiyallahu anhu. Hadits ini dinyatakan lemah oleh al-Albâni dalam Ta’liq Sunan Nasai’
[14] Lihat Nailul Authâr 5/265
[15]  Lihat Fathul Qadîr 5/31 dan Mugnil Muhtâj 2/212
[16] Ghâyatul Muntaha 2/180, al-Mugni 5/12 Badâ’i’us Shanâ’i’ 6/57, Fathul Qadîr 5/30, al-Mabsûth 11/154
[17]  Bidâyatul Mujtahid 2/252,  Mugnil Muhtâj 2/212, al-Khurasy 6/55
[18]  Al-Fiqhul Islâmi wa Adillatuhu, 4/802
[19] Badâ’i’us Shanâ’i’, 6/59
[20] Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu,  4/797


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/14342-perseroan-syirkah-sesuai-syariah-2.html